Belakangan sering banget berseliweran video, berita, thread, dan sebagainya perihal salah memilih MUA di hari istimewa. Mulai dari si pengantin perempuan badmood, sampai akhirnya ia dituruti untuk di make up ulang oleh MUA yang diinginkannya.
Tidak sedikit pula cibiran yang datang dari kerabat dan teman terdekat perihal make up ini, seolah dalam suatu hajatan besar, dalam suatu momen besar nan sakral, make up menjadi satu-satunya yang paling disorot dan diperhatikan. Kalimat-kalimat “ih sayang kali, padahal kan kau cantik, make upnya nggak pas nih” atau “kok nggak pake MUA yang ini?” dan sejenisnya yang membuat hati si pemilik hajatan menciut sejadi-jadinya, seringkali tidak terelakkan.
Faktanya, apakah selebrasi sejenis ini sepenting itu?? Apakah make up dan segala tetek-bengeknya seberpengaruh itu pada kesakralan momen pernikahan?? Apakah kita benar-benar membutuhkan perayaan yang sempurna?? Atau justru kita lebih membutuhkan kalimat “TSAH” itu sendiri?
Sebagai seorang perempuan, saya sadar betapa kita menginginkan kesempurnaan di hari istimewa kita. Betapa kita memiliki cita-cita dan pernikahan impian dalam persepsi dan benak masing-masing. Belum lagi fakta bahwa kita telah di-nina-bobok-an oleh dongeng-dongeng indah perihal pernikahan semasa kecil. Wajar, wajar sekali jika kita menginginkan hal-hal seperti ini. Seperti kalimat yang sering kita dengar; perempuan itu suka yang indah-indah.
Masalahnya, pernikahan kita bukanlah milik kita sendiri. Kita punya keinginan, namun orangtua kita juga punya harapan. Kita inginnya nikah di gedung atau malah grand ballroom hotel bintang 17, dekorasi mewah, make up cetar membahana, susunan acara sempurna. Namun, orangtua kita ingin pernikahan di rumah, di mana para kerabat dekat bisa berkumpul ria, para tetangga ikut membantu dan bersuka cita. Dari dua hal ini saja, sudah timbul masalah perbedaan, yang mana jika tidak ada salah satu pihak yang mengalah, maka selesailah sudah. Akan ada yang memendam rasa sakit di hatinya pada hari yang harusnya penuh bahagia dan haru biru.
Pertanyaannya, sulitkah untuk mengalah dan menurunkan ego??
Pernikahan di gedung ataupun di rumah ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seperti kita tahu, pernikahan di gedung akan jauh lebih praktis bagi pemilik hajatan. Makanan tinggal pesan catering, tidak perlu beres-beres tempat usai acara, terlihat mewah dan berkelas, sudah ada yang menjaga makanan dan menyiapkan acara, namun acara ini membutuhkan budget yang lumayan banyak. Pernikahan di rumah juga tidak kalah seru; para tetangga berkumpul di rumah kita dan ikut membantu, bisa menggosip dengan tetangga sepukul-dua pukul, bisa ikut bergadang di malam acara bersama saudara dan tetangga, dan biaya jauh lebih hemat daripada di gedung. Eits, jangan salah dulu. Nikah di rumah juga bisa kok dibuat dekor mewah ala-ala gedung. Vendor-vendor wedding sekarang sudah makin kreatif kok.
Nah, sekarang kita kembali membahas make up. Pentingkah menyewa jasa MUA terkenal di hari istimewa kita? Jawabannya; nggak penting. Kenapa? Jika kamu punya budget lebih untuk MUA terkenal nan professional, ya silakan. Tetapi jika budgetmu terbatas, ya tak mengapa. Tidak menjadi masalah besar yang lantas akan membuat acaramu gagal total. Pertanyakan lagi ke dirimu, tujuanmu menikah apa? Membina rumah tangga dan berkeluarga dengan mengharap ridho orangtua dan Sang Pencipta, atau menjadi ratu sehari yang dipuji-puji banyak orang agar seisi hatimu dipenuhi bunga-bunga bermekaran??
“Ya sekalian jalan lah, Kak! Nikah ya untuk berumah tangga, tapi kan kejadian sekali seumur hidup, harus cantik bagaikan ratu dong.”
Maaf, saya nggak bisa terima istilah sekali jalan ini. Mengharapkan keduanya berjalan sekaligus dan berdampingan dengan harmonis tentu tidak salah. Tetapi kita harus tahu, di antara kedua hal itu, mana hal yang paling penting? Yang pertama atau yang kedua? Kenapa menentukan ini menurut saya penting? Karena ketika kita tahu yang menjadi prioritas dari alasan kita menikah, kita akan dengan mudah mengikhlaskan salah satunya jika tidak bisa berjalan harmonis. Kalau tujuanmu untuk membina rumah tangga dan berkeluarga dengan mengharap ridho orangtua dan Sang Pencipta, maka ketika ekspektasimu menjadi ratu sehari tidak terpenuhi, kamu akan tetap bisa mengangkat kepala dan tertawa bahagia di hari istimewa itu. Bagimu, yang terpenting kedua orangtuamu ridho, Sang Pencipta ridho. Maka berkahlah pernikahanmu itu. Nggak masalah ketika dekorasi tidak sesuai harapanmu, make up tidak sesuai keinginanmu, acara tidak semewah ekspektasimu.
Tetapi, jika hal yang paling kamu pedulikan adalah poin kedua, maka seharusnya tidak masalah pula bagimu jika pernikahanmu tidak berkah, orangtuamu tidak ridho, Sang Pencipta tidak ridho, ataupun pernikahanmu nantinya gagal di tengah jalan.
“Kejam banget, Kak, doanya!”
Loh, saya nggak mendoakan hal-hal buruk untuk orang lain. Hanya saja, ketika kita lebih memikirkan satu hal, maka hal itu pastilah jadi prioritas kita. Sudah seharusnya hal yang lain, yang tidak lebih kita pedulikan berjalan dengan tidak semestinya, kita bisa menerima ketidaksemestian itu. Konsep sederhananya gitu, kan?
Saya termasuk dalam kategori orang-orang yang impian pernikahannya tidak terwujud. Impian pernikahan saya adalah pernikahan yang khidmat, yang hanya dihadiri orang-orang terdekat, yang konsep acaranya outdoor dan santai. Cukup pakai satu baju dari sore sampai selesai acara (dalam impian saya, acaranya hanya sore sampai malam, seperti pesta teh kebun). Di mana keluarga saya dan suami memakai baju seragam. Teman-teman terdekat hadir dan memberi selamat. Sepanjang acara cukuplah ditemani musik instrumental, tidak perlu ada penyanyi atau band pengiring. Make up saya cukup yang natural saja, tidak perlu membuat saya terlihat manglingin. Dalam perkiraan saya, acara ini tidak akan memerlukan biaya banyak. Namun, selesai acara, dana yang tersisa ingin saya gunakan untuk membawa keluarga kami jalan-jalan. Ya, saya lebih pro untuk mengalihkan biaya resepsi untuk jalan-jalan keluarga usai acara.
Namun……
Bapak saya ingin ada resepsi. Beliau ingin anak gadis satu-satunya ini naik pelaminan. Karena baginya, perempuan naik pelaminan hanya sekali seumur hidup. Bahkan jika pernikahan itupun nantinya gagal, tidak akan ada kesempatan kedua bagi perempuan untuk naik pelaminan jika tidak di kesempatan pertama pernikahannya.
Apakah saya langsung mengalah dalam hal ini dengan bapak saya? Tentu tidak. Tetap ada tahap perseteruan yang tidak terelakkan. Hingga akhirnya, ketika saya dan bapak saya sudah sama-sama kesal dan memutuskan untuk tidak saling bicara, kami saling merenung dan berpikir selama kami tidak bicara. Saya telah berpikir, apa salahnya saya mengikuti kemauan bapak saya? Apalah arti keinginan saya dibandingkan kesabaran bapak saya selama membesarkan saya? Bukankah sudah direstui untuk menikah saja, merupakan hal yang luar biasa? Bukankah tujuan saya menikah untuk mengharap ridho Sang Pencipta dan orangtua? Lantas mengapa saya permasalahkan hal remeh-temeh begini? Maka setelah itu, saya menghubungi bapak saya. Dan mengejutkan sekali, di saat yang bersamaan, kami menyampaikan permintaan maaf lalu memutuskan untuk mengalah. Bapak saya berterima jika saya tidak ingin mengadakan resepsi, dan saya juga berterima jika bapak saya ingin mengadakan resepsi. Nah loh, lalu gimana? Lalu yasudah, saya mengikuti kemauan bapak saya dan bapak saya berterima kasih banget kepada saya, seraya meneteskan airmata. Bayangkan, betapa mengharukannya momen itu. Saya hanya mendengarkan ucapakan terima kasih itu via telepon, dan saya tahu, bapak saya sedang menangis di seberang sana.
Lalu bagaimana dengan make up? Tentu saya ingin memilih MUA sendiri, tidak mau di-make up sama ibu-ibu dari bagian dekorasi. Namun, lagi-lagi keinginan ini terbentur oleh ketidaktersediaan waktu saya untuk mencari MUA, dan keterbatasan budget. Jadi saya tahan biaya untuk MUA itu untuk keperluan mendesak lain. Bagaimana hasil make up saya? Tidak bagus, tentu saja. Apakah saya kecewa? Tidak.
“Kok bisa, Kak?”
Ya bisa. Alhamdulillah saya di make up oleh anaknya yang punya vendor wedding itu, dan ibunya tetap membantu anaknya ketika make up-in saya. Mereka berdua ramah, menyenangkan. Bahkan saya selalu hapus make up tiap wudhu dan solat, dan mereka dengan sabar make up-in saya ulang. Sepanjang make up juga kami selalu bercanda, seolah kami tetangga dekat dan sudah biasa bercanda ria. Hal ini saja sudah membuat saya bersyukur dan tidak lagi peduli perihal make up.
Pun begitu ketika mamak saya memutuskan untuk memakai kibot (bahasa di sumatera gitu ahaha). Saya tentu tidak ingin berisik, lagipula orangtua murid-murid saya dulu pasti akan datang, dan saya tidak ingin membuat mereka tidak nyaman. Namun, mamak saya bilang, itu untuk hiburan para tetangga yang sudah membantu. Dan lagi-lagi, saya mengangguk mengiyakan.
Dari sekian banyak hal yang tidak sesuai pada pernikahan saya, apakah saya kecewa dan sedih dan malu? Ya nggak juga. Sebab sepanjang acara, saya selalu menatap di mana Nisa (adek yang durhaka) duduk dan setia menemani saya sepanjang acara. Saya melihat Wilda datang jauh-jauh untuk menghadiri akad saya, Kak Nindy yang menyempatkan datang di tengah hari kerja suaminya, Mahya yang kabur dari sekolah, bahkan Kak Melis yang mendoakan dari jauh. Saya melihat saudara-saudara jauh berdatangan dan dengan ringan tangan membantu segala keriwehan acara. Saya melihat keluarga dan orangtua saya bersyukur dan menikmati acara. Saya melihat para tetangga bersuka cita sembari memasak. Dan alhamdulillah, orangtua murid-murid saya dulu juga maklum dan memahami saya dengan baik. Semua orang terlihat senang. Lalu, apakah ini tidak setimpal dengan keinginan dan impian-impian saya yang tidak terpenuhi?
Jika impian pernikahanmu terpenuhi, maka itu rezeki yang luar biasa untukmu. Bersyukurlah, banyak-banyak berterima kasih kepada orangtua. Tetapi jika keinginanmu tidak terpenuhi sebab terbentur keinginan orangtua, juga tak mengapa. Tetaplah berterima kasih kepada orangtua. Sejatinya pernikahan itu bukan tentang keinginanmu saja, namun ada harapan-harapan orangtuamu di dalamnya.
Jika pernikahan impianmu tidak bisa terwujud dalam pernikahanmu, maka semoga saja bisa terwujud pada pernikahan anakmu nanti. Semoga saja anakmu kelak mau berbagi ruang dalam pernikahannya, agar mau menerima harapanmu pada pernikahannya. Memberimu kesempatan untuk memiliki andil dalam setiap detail acaranya. Tetapi jika pun anakmu tidak memberikan semua itu, tak mengapa. Doakan saja yang baik-baik, dan kembali ingat bahwa tujuan pernikahan itu sejatinya bukan terletak pada selebrasinya.
Lagian, kan nggak lucu juga, kamu di make up-in layaknya barbie dan ‘manglingin’. Orang-orang memujimu. Lantas ketika suatu hari kamu berkunjung ke rumah teman suamimu, dan teman suamimu refleks nyeletuk, “eh, bojomu iki tah? Kok ora mirip koyo pas nang nikahanmu kui?” BAHAHAHAHAHA
0 Comments