Bahagia dan sedih selalu berdampingan, seperti yin dan yang. Seperti panas dan hujan. Seperti siang dan malam.
Ada banyak sekali hal-hal yang membuat saya bahagia, pun begitu pula dengan perasaan sedih. Tidak jarang pula perasaan haru muncul di antara kedua perasaan itu. Menyaru di udara, menyesaki dada.
Dari sekian banyak hal itu, saya mau menceritakan beberapa hal yang membuat saya bahagia dan bersedih saat ini.
BAHAGIA DAN SEDIH SELALU BERDAMPINGAN
Ini adalah beberapa hal yang membuat saya bahagia saat ini, sekaligus membawa kesedihan di dalamnya. Tiga hal yang saya rangkum ini menjadi bukti bahwa bahagia dan sedih itu selalu berdampingan dalam hidup saya, dan saya mensyukuri itu.
1. Menjadi Ibu
Menjadi seorang ibu tentu sebuah kebahagiaan bagi setiap perempuan. Begitu pula bagi saya. Tetapi bagaimana jika perasaan bahagia ini erat sekali dengan perasaan sedih dan sepi?
Saya selalu percaya, apa yang membuat seseorang bahagia, hal-hal yang mampu mendatangkan kebahagiaan bagi seseorang sebenarnya hal-hal itu pula yang memiliki peluang paling besar untuk menjadi sumber kesedihan baginya.
Bagaimana tidak? Setelah menjadi ibu, saya sering merasa bersalah sendiri. Tumbuh kembang anak tidak sesuai, saya menyalahkan diri sendiri. Anak kesedak, saya menyalahkan diri sendiri. Anak sakit, saya menyalahkan diri sendiri. Bahkan ketika suami saya lebih paham bagaimana anak saya (karena suami lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak), pun saya menyalahkan diri sendiri. Jangan ditanya bagaimana saya sedihnya untuk semua hal itu. Terkadang saya menangis tanpa tahu alasan yang jelas, selain rasa bersalah yang teramat membebani hati saya.
Saya bahagia sekali menjadi ibu. Tetapi ternyata peran ini membuka pintu kesalahan saya semakin luas. Bahagia dan sedih itu selalu berdampingan. Begitu pula ketika saya menjadi seorang ibu.
2. Bisa Ikut Puasa Ramadhan Tahun Ini
Setelah tahun lalu saya hanya ikut puasa di sembilan hari pertama (karena di hari ke delapan dan ke sembilan saya merasa gerakan janin berkurang meski saya yakin saya kuat puasa), alhamdulillah tahun ini saya bisa ikut puasa sampai hari ini.
Bahagia? Tentu saja! Saya takut sekali tidak bisa bertemu Ramadhan tahun depan, makanya saya sangat ingin ikut puasa tahun ini. Ditambah usia anak saya sudah enam bulan lebih, di mana seharusnya dia sudah makan. Nyatanya, mpasi ini memang penuh drama. Haha
Anak saya tidak mau tekstur bubur cair, padahal di usianya sekarang ini tekstur makanannya memang harus bubur cair. Jadilah saya mutar otak naik turun tekstur, mencari tahu apa yang dia mau. Tetapi ya karena dia belum full makan, akhirnya dia nen terus. Tetap jadi hal favoritnya. Alhamdulillah saya dimampukan untuk menyusui anak saya meski menjalankan puasa seharian. Alhamdulillah Allah SWT limpahkan asi kepada saya untuk anak saya.
Apakah bahagia ini terlepas dari kesedihan? Tentu tidak.Setelah kebahagiaan saya karena dimampukan mengikuti puasa Ramadhan, akhirnya kesedihan itu muncul juga.
Jujur, sejak menjadi ibu, saya kesulitan membagi waktu untuk ibadah. Apalagi di bulan puasa ini. Saya harus tawarih sendirian di kamar. Itu pun bersyukur kalau bisa tarawih. Seringnya saya baru dua rakaat tarawih, anak tiba-tiba terbangun minta nen, setelah ngeloni anak malah ikut ketiduran.
Persoal ngaji? Jangan ditanya. Jangankan satu jus, satu halaman saja sulit saya dapat. Mau ngaji sambil megang bocil pakai al-Quran, auto al-Quran diremet-remet. Mau ngaji pakai HP, bocil ikutan megangin HP. Astaghfirullah, saya banyakan mengeluh.
Sedih sekali, rasanya saya banyak merugi, banyak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan pahala berlimpah ruah di bulan suci ini. Terkadang setan membisikkan pula betapa enaknya ketika saya masih lajang, bebas beribadah. Tetapi, saya sering lupa, bahwa menjalani peran istri dan ibu ini juga merupakan ibadah. Insyaa Allah, Allah swt sudah tahu bagaimana harus mengganjar setiap ibadah hambanya.
3. Bisa Puasa Bareng Mamak Dan Adek
Sebagai perantau yang dua tahun berturut-turut melewati puasa dan lebaran di antah berantah tanpa orangtua dan sanak saudara, tentu hal ini menjadi kebahagiaan yang sangat saya syukuri. Akhirnya tahun ini saya punya kesempatan untuk puasa bareng mamak dan adek saya. Bahkan, insyaa Allah, sampai berlebaran nanti.
Tapi..siapa bilang kebahagiaan ini tidak harus ada kesedihan yang saya bayar? Kedatangan mamak dan adek saya ke sini karena ada suatu hal, yaitu suami saya harus operasi. Pasca operasi tidak memungkinkan bagi suami saya untuk menggendong anak kami. Kami kewalahan, alhasil meminta tolong agar mamak dan adek saya datang ke sini sampai suami saya pulih.
Awalnya saya sedih sekali jika mengingat rentetan peristiwa hingga suami saya operasi. Namun kalau diingat-ingat sekarang ya semuanya terasa receh sekali. Jadi sebuah cerita yang bisa dikenang dengan menikmati butter cookies dan segelas teh hangat atau kopi susu dingin. Tetapi, dari semua musibah itu, saya melihat anak saya punya kesempatan bertemu dengan satu-satunya nenek yang ia miliki. Mamak saya punya kesempatan ketemu cucu pertamanya. Saya punya kesempatan untuk bertemu mamak dan adek saya.
Setelah dua bulan bersama mamak dan adek saya, sekarang saya jadi sedih membayangkan harus berpisah lagi sehabis lebaran nanti. Butuh setahun lagi untuk bertemu, pun dalam waktu yang singkat. Membayangkan ini saja saya sedih sekali. Tetapi tetap bersyukur dan bahagia masih bisa buka puasa bersama mamak, adek, suami dan anak bayi saya nanti sore.
Itulah beberapa hal yang membuat saya bahagia sekaligus sedih saat ini. Masih ada yang lainnya, tapi tiga hal itu cukuplah sebagai pengantar. Lainnya akan saya ceritakan di sesi berbeda.
Bagi saya, bahagia dan sedih itu dua perasaan yang saling berdampingan. Ada harga untuk setiap kebahagiaan yang kita miliki. Bahkan, ketika kita bahagia karena bisa menikahi orang yang kita inginkan pun, tetap ada kesedihan di balik bahagia itu, yaitu terlepas dari tanggungjawab orangtua, atau orangtua kita merasa sedih karena anak perempuan satu-satunya harus diserahkan kepada orang lain. Tentu kesedihan yang saya maksud di sini berbeda dengan kesedihan ditinggal meninggal oleh seseorang yang kita sayangi.
Nggak apa-apa kita bersedih setelah atau sebelum kebahagiaan itu datang. Sedih itu pengingat kita bahwa segala hal memang harus seimbang, dan bahagia itu menjadi penyadar kita bahwa segalanya jadi mudah dengan bersyukur. Kita harus merasakan keduanya, agar kita selalu ingat bahwa kita masih manusia biasa, hamba Allah swt.
0 Comments