Hidup minimalis kurangi perubahan iklim. Selain kita membantu menjaga bumi, kita juga membantu diri kita sendiri untuk lebih berhemat dan belajar efisiensi dalam banyak hal.
Iklim di kota domisili saya sekarang labil banget. Di tempat kalian gimana?
Ngerasa nggak, kalau sekarang cuaca suka nggak menentu? Siang panas terik cetar membahana, tiba-tiba sore hujan deras kayak dituang air bah dari langit. Atau, ngerasa nggak, sekarang tuh kalau lagi panas, panasnya jauh lebih menyengat dibanding dulu? Saya sekarang suka bingung, kapan musim hujan, kapan musim panas. Percaya nggak percaya, iklim kita sudah berubah. Pemanasan global, kalau bahasa ilmiahnya.
Bencana alam yang terjadi sekarang juga nggak lepas dari perubahan iklim bumi yang ekstrem. Banjir, longsor, kebakaran, yang kalau ditarik benang merahnya, ujung-ujungnya ya tetap kita yang menyebabkan bencana itu sendiri. Kebiasaan-kebiasaan buruk kita, yang tanpa kita sadari telah menjadi penyumbang musabab-musabab bencana alam yang terjadi. Buang sampah sembarangan, pemakaian listrik berlebihan, pemakaian kendaraan pribadi berlebihan, penggunaan AC, kulkas dan sebagainya.
Menyempitnya lahan terbuka dan hutan, membuat suhu bumi juga meningkat. Tetapi, perihal hutan dan lahan terbuka ini memang selalu dilematik dan problematik. Kenapa? Karena pertambahan jumlah penduduk membuat sebagian besar lahan terbuka dan hutan dialihfungsikan menjadi area hunian. Kebutuhan lapangan kerja juga menjadikan sebagian lahan disulap menjadi pabrik-pabrik industri. Sisi positifnya, kebutuhan tempat tinggal dan pekerjaan manusia terpenuhi. Sisi negatifnya, semakin banyaknya polusi yang dibuang ke udara dibarengi dengan semakin berkurangnya lahan hijau yang menjadi area serapan polusi ini. Dilematis sekali, kan? Bicara perihal perubahan iklim, dua tahun belakangan ini adalah tahun di mana saya mulai sadar banget perubahan iklim begitu berpengaruh terhadap diri saya, salah duanya ke kulit dan kesehatan saya.
KESEHATAN KULITSaya tipe yang suka skincare-an. Bisa dicek feed IG dan blog saya mulai beralih ke review skincare. Tapi, sayangnya saya nggak suka pakai sunblock. Nah lho! “Sia-sia dong skincare-nya?” Mungkin iya, mungkin nggak. Tapi jujur, belakangan ini rasanya cuaca makin menyengat aja, lagi hujan deras juga udaranya terasa gerah. Efeknya ke saya, kulit jadi kering, skin barrier rusak, dan kulit makin kusam (bahkan menghitam 🙁 ). Padahal dulu saya pernah kerja di lapangan, skincare-an juga, tapi kondisi kulit jauh lebih baik daripada sekarang yang kerja di kantoran. Apakah ini bukti nyata perubahan iklim yang saya rasakan? Iya! Dari gambar di atas yang saya kutip dari facebook YURAE, bisa kita lihat penyebab skin barrier rusak salah tiganya adalah polusi udara, sinar UV, perubahan musim, dsb. Di cuaca yang nggak menentu begini, pantas saja skin barrier saya rusak, kan? Kebayang kan, orang-orang jaman dulu nggak pernah skincare-an, paling juga ngerawat diri pakai masker alami dari tomat, pepaya atau sejenisnya, tapi kulit mereka baik-baik saja. Nenek saya malah nggak kenal pencuci muka, serum, day cream, night cream, tapi di usia lima puluhan kulitnya bagus-bagus aja. Masih cerah dan sehat. Mungkin karena dulu tinggal di desa yang notaben cuaca dan udaranya masih bersih dan sehat ya, makanya berefek ke kulitnya juga. Coba sekarang, kita nggak pakai skincare, wassalaam deh kulit kita :’)
KESEHATAN DIRI
Selain ke kulit, efek dari perubahan iklim yang saya rasakan juga berpengaruh ke kesehatan saya. Kepala jadi gampang pusing, apalagi ketika cuaca lagi panas terik, bisa dipastikan kepala pasti langsung nyut-nyutan. Badan gampang sakit dan nggrenggesin. Apalagi tenggorokan, paling gampang banget kena radang.
Contoh aja nih, bulan lalu lagi sibuk pindahan. Jadi suka bawa anak bayi keluar rumah. Dan benar saja, anak bayi saya langsung batuk-batuk setelah dua hari berturut-turut keluar. Wajar, sih, dia keluar rumah nggak pakai masker, menghirup asap polusi kendaraan bermotor, debu, dan sebagainya. Saya dan suami saja yang pakai masker bisa kena radang tenggorokan setelah dua hari itu, apalagi anak bayi yang tanpa masker.
HIDUP MINIMALIS KURANGI PERUBAHAN IKLIM
Kita nggak bisa diam saja, kan, dengan harapan simsalabim bumi kita jadi baik-baik saja dalam waktu semalam? Nah, tanpa sadar ternyata saya sudah beralih ke hidup minimalis sedikit demi sedikit tujuh tahun belakangan ini. Berikut salah lima usaha yang saya dan suami lakukan #UntukmuBumiku adalah :
MENGURANGI PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK
Kita tahu bahwa plastik merupakan salah satu bahan yang sulit terurai dan menjadi penyumbang sampah terbesar di bumi. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri bilang, limbah plastik Indonesia mencapai 66 ton per tahun. Kebayang nggak, 66 ton plastik ini larinya ke mana? Mau diapain?
Berangkat dari fakta menyedihkan ini, saya dan suami berinisiatif untuk menggunakan reusable goodie bag sebagai alternatif pengurangan penggunaan plastik. Pergi belanja ke pasar, bawa tas kain sendiri untuk menyimpan belanjaan (kecuali kalau beli ikan, wajib ya ini dibungkus plastik dulu). Pergi ke swalayan, bawa tas sendiri untuk simpan belanjaan. Pergi ke hypermart apalagi, wajib bawa tas sendiri karena plastiknya bayar. Ibukibuk nggak mau rugi dong ahaha
Lagian sekarang sudah banyak sekali e-commerce yang menjual berbagai macam tas reusable ini. Motifnya pun cantik-cantik. Dipakai sebagai tas tenteng juga nggak malu kalau jalan ke mall. Bisa yuks mulai beralih ke barang-barang yang reusable, demi bumi kita.
MENGURANGI PENGGUNAAN KENDARAAN BERMOTOR
Selain usaha di atas, saya dan suami juga ikhtiar untuk tidak pergi ke mana-mana kalau tidak penting. Intinya sih membatasi mobilitas penggunaan kendaraan bermotor. Sebenarnya, andai saja di kota domisili saya sekarang ada kendaraan umum seperti di Jakarta atau di kota tempat tinggal saya dan suami dulu, mungkin kami juga nggak akan menggunakan kendaraan pribadi. Selain nggak capek bawa kendaraan, tinggal duduk aja langsung sampai, tapi juga mengurangi asap penyumbang polusi udara.
Kita nggak bisa pungkiri, kejadian lockdown ketika awal masa pandemi dua tahun lalu memberi dampak baik pada lingkungan. Jakarta dan kota-kota besar yang punya seabrek masalah mengenai polusi, seketika menjadi membaik setelah menjalani lockdown 3 bulan pertama. Karena apa? Tentu saja karena penggunaan kendaraan bermotor yang sudah jauh berkurang. Kendaraan-kendaraan penyumbang asap dan polusi ini ‘diistirahatkan’ yang akhirnya memberikan dampak positif ke lingkungan kita.
Dari musibah covid itu, saya belajar, dan saya yakin banyak orang yang belajar, bahwa kita sebaiknya meluangkan waktu sekali atau dua kali dalam seminggu untuk mengistirahatkan kendaraan pribadi kita. #UntukmuBumiku dan untuk anak-cucu kita nantinya.
SERVICE KENDARAAN PRIBADI SECARA BERKALA
Mau kendaraan pribadi kita bagus atau enggak, itu memang urusan pribadi kita. Tapi, kalau kendaraan kita sampai mengeluarkan asap berwarna putih atau hitam, siapa yang dirugikan? Bukan hanya orang lain, kita juga dirugikan. Selain umur pakai kendaraan jadi semakin singkat, yang mana artinya kita harus menyediakan budget untuk membeli kendaraan baru lebih cepat, asap penyumbang polusinya juga semakin parah. Kendaraan pribadi kita itu menjadi penyumbang polusi udara, jadi jangan ditambah dengan memperparah polusi yang kita timbulkan dengan membiarkan kendaraan pribadi kita sampai mengeluarkan asap berwarna putih atau hitam. Atau terkadang knalpot kendaraan kita mengeluarkan suara yang mengganggu telinga. Ujung-ujungnya jadi polusi suara juga. Asap kendaraan ini sendiri mengandung benzena, arsenik, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan lainnya. Saya ingat betul guru biologi saya dulu pernah bilang, asap kendaraan yang berwarna putih itu mengandung karbon monoksida lebih banyak, yang mana senyawa ini bisa menyebabkan kematian. Saya paling sebel jika di jalan ketemu kendaraan yang mengeluarkan asap putih atau hitam. Jujur setelah menghirup asap-asap ini, kepala saya langsung sakit, mual, kadang sampai keringat dingin. Pengen rasanya misuh-misuh ke orang yang punya kendaraan seperti ini. Tapi ya nggak mungkin jugakan? Makanya, langkah yang saya ambil agar nggak jadi penyumbang polusi udara dan suara, saya putuskan untuk service berkala kendaraan pribadi saya. Pokoknya jangan sampai saya menyumbang asap putih atau hitam dan suara knalpot yang mengundang sumpah serapah orang. Untuk bumi kita jugakan?
BERALIH KE CLOTH DIAPER DAN PEMBALUT KAIN
Sejak tahu bahwa saya hamil, saya mulai memikirkan opsi lain selain pakai pospak. Selain takut anak saya terkena ruam popok, saya juga tipe yang pusing hanya untuk memikirkan mau kemana sampah pospak itu nanti dibuang?
Dan sebagai ibuk-ibuk nggak mau rugi (ehehehe), saya juga mempertimbangkan cost yang harus di-spare untuk pengadaan popok bayi ini. Setelah tanya ke sana sini, ke teman-teman yang duluan punya anak daripada saya, ternyata lumayan juga biaya untuk pospak, ditambah resiko ruam popok. Akhirnya saya cari tahu tentang cloth diaper (clodi). Saya searching sana sini, sekalian cari merk yang worth to buy, akhirnya saya memantapkan hati untuk memakai clodi. Selain lebih ramah lingkungan, hitung-hitungan keuangannya juga bisa menghadiahi saya mesin cuci. Wow, jelas menggiurkan sekali.
Misal nih, cost untuk pengadaan pospak sebulan habis 250K. Setahun tentu pengeluarannya sudah Rp 3.000.000,-. Anggaplah anak pakai pospak sampai umur 2 tahun. Total pengeluaran selama dua tahun jadi Rp 6.000.000,-
Dengan nominal uang yang sama, saya sudah bisa membeli clodi 15 pcs beserta insert tambahan dan detergennya. Dan saya bisa menghemat uang sebesar Rp 3.500.000,-
Untuk orang yang baru berumah tangga, tentu uang ini bisa saya alokasikan untuk membeli mesin cuci dan peralatan lainnya. Kalau untuk yang sudah punya mesin cuci, uang segini tentu bisa ditabung untuk keperluan lain.
Mungkin kita nggak ngerasa pengeluaran untuk pospak bisa sampai sebanyak itu, karena kita hanya membayar per bulan yang nominalnya hanya 250K. Tetapi ketika dikalkulasikan, nominal ini cukup besar dan lumayan banget ditabung atau dialihfungsikan.
Memang, sih, penggunaan clodi agak ribet karena harus cuci-jemur. Tetapi efek ke lingkungan jauh lebih ramah dan nggak ada resiko ruam popok. Dan karena saya sendiri sudah sejak 7 tahun lalu beralih ke pembalut kain, untuk saya pribadi, rutinitas cuci-jemur clodi ini nggak jadi masalah besar.
Yuks, BukIbuk, nggak mau nih hemat 3,5 juta untuk penggunaan popok dan pembalut? :p
BERALIH KE LAMPU LED DAN PERALATAN ELEKTRONIK YANG LOW WATT
Meski harus diakui lampu LED ini harganya lumayan menguras kantong, tetapi efeknya juga lumayan banyak. Penggunaan energi yang sangat rendah menjadikan kebutuhan daya dari pembangkit tenaga listrik juga berkurang, sehingga emisi gas rumah kaca yang bertanggungjawab terhadap pemanasan global pun berkurang.
Efek positif lainnya, tentu saja, tagihan listrik berkurang. Ya nggak, BukIbuk? Ehehe
Kalau kata suami saya, beli barang elektronik yang agak mahal dengan spesifikasi low watt ya nggak apa-apa. Karena apa??? Karena selisih harga mahal yang mungkin 50 – 200 K itu hanya kita bayar sekali, tetapi konsumsi listrik itu kita bayar tiap bulan. Hitung-hitung, secara nggak langsung kita sudah berhemat banyak. Lagian, nggak rugi jugakan jadi #TeamUpforImpact?? Demi kesehatan bumi kita, dan kesehatan kita juga.
Ini cerita saya. Lima cara yang saya terapkan (dan berusaha istiqomah saya terapkan) ke keluarga kecil saya #UntukmuBumiku. Kalau kamu, sudah melakukan apa untuk menjadi #TeamUpforImpact??
Yuk share juga cerita kamu!
0 Comments