Puasa Saat Pandemi

Ramadhan selalu menjadi momen yang paling dinantikan oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain menjadi bulan yang penuh berkah dan rahmat, Ramadhan juga selalu identik dengan momen kekeluargaan. Momen sahur bersama hingga berbuka menjadi saat-saat yang paling ditunggu dan dirindukan oleh banyak orang. Tidak hanya itu, pada saat Ramadhan ini juga ada banyak jajanan pasar yang hanya bisa temui di saat bulan puasa ini. 


Sayangnya, bulan puasa dua tahun belakangan ini terasa berbeda. Pandemi yang melanda bumi membuat banyak orang yang tidak bisa merasakan hangatnya kebersamaan ketika sahur pertama, pun serunya momen berbuka puasa hari pertama bersama keluarga. Saya salah satu yang merindukan momen-momen itu dan menjadi salah satu dari banyaknya perantau yang tidak bisa mudik, baik saat puasa pertama, maupun saat lebaran.


Melewati Ramadhan di perantauan memang terasa menyedihkan. Ada kesepian di dada kiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada seikat rindu yang tidak bisa ditunaikan. Ada segudang peluk yang tidak bisa direngkuh. Dan ada sekelebat wajah-wajah yang tidak bisa kita tatap seperti dahulu kala. 
Dulu, ketika masih kanak-kanak, kita selalu menjadi orang terakhir yang dibangunkan oleh Ibu. Dengan keadaan setengah mengantuk, kita berusaha tersadar untuk menyantap makan sahur. Ada Bapak yang duduk di depan TV dengan sepiring makanan dan celotehannya perihal reality show Ramadhan. Ada nenek yang sibuk membahas harga bahan-bahan pangan dan menu berbuka puasa bersama ibu. Dan ada kakek yang asik menawari cucu-cucunya makan. Ramai sekali. Penuh sekali. Hangat sekali. 


Ketika kecil dulu, momen ini menjadi hal biasa yang tidak memiliki arti. Tetapi siapa sangka, ketika dewasa, saat hidup kita dipenuhi dengan hiruk-pikuk pekerjaan, saat cobaan hidup naik level, saat waktu berkumpul dengan keluarga semakin kecil, justru kita merindukan momen-momen tadi. Kita jadi begitu menyadari arti keluarga bahkan ketika kita sudah jauh atau bahkan kehabisan waktu. Contohnya saat pandemi ini. Masuk ketiga kali puasa di perantauan, dan semoga tidak akan ada lagi lebaran ketiga tanpa keluarga. 


Lalu, bagaimana rasanya sebagai perantau?

Sedih pasti. Saya menyadari betapa merindukannya kampung halaman bahkan ketika saya kesulitan untuk bisa kembali ke sana. Saya ingat betul bagaimana saya dan ibu-ibu di kampung berjalan bersama menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Atau sehabis berbuka, kami akan saling menjemput dan berjalan ke masjid untuk Shalat Tarawih. Di sela-sela shalat, menuju penghujung Ramadhan, apalagi yang akan kami bahas kalau bukan kue-kue lebaran. Saya yang paling menang banyak dalam hal ini. Sebagai satu-satunya bocil di antara ibu-ibu (karena ibu-ibu ini sebenarnya teman-teman nenek saya), saya selalu mendapat bagian icip-icip ke sana sini.

Ah, waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya rebutan shaf depan paling sudut dengan ibu-ibu, hari ini rasanya lengang sekali shaf-shaf di masjid. Baru kemarin rasanya bisa melempar candaan di sela-sela shalat dengan ibu-ibu tetangga, hari ini saya hanya bisa tersenyum dan menundukkan kepala kepada ibu-ibu di sebelah saya. Terkadang merantau terasa menyenangkan dan menemukan keluarga baru. Tetapi tidak jarang pula, merasa asing dan sendirian.

Semoga bumi segera pulih. Semoga semarak Ramadhan seperti dulu lagi. Agar esok, anak-anak kita tahu, betapa istimewanya bulan Ramadhan. Dan betapa menyenangkannya menjalankan ibadah puasa.

Post a Comment

0 Comments