Tentang Bapak

Tentang bapak saya, yang hanya seorang supir lintas. 

Bapak saya seorang supir lintas. Alih-alih memakai setelan jas, bapak lebih sering memakai kaos oblong dan celana pendek. Syukur kalau kaosnya tidak bolong sana sini. Jangan harapkan bapak saya wangi. Aroma panas matahari adalah parfum paling wangi untuk bapak saya, syukur kalau tidak diikuti bau oli dan polusi.

Apakah tangannya halus? Tentu saja tidak. Badannya saja bertato singlet. Permanen. Cuma hilang kalau bapak nggak nyupir truk setengah tahun. Pun itu harus diikuti rangkaian perawatan kulit.

Bapak bukan sarjana. Tamat STM saja sudah jadi kebanggaan untuknya. Tetapi tentu saja, bapak tidak ingin saya bangga hanya dengan tamat SMK. Bahkan setelah saya menamatkan gelar diploma saya, bapak masih bercita-cita saya bisa menyelesaikan gelar sarjana saya. Dan tentu saja, cita-citanya ini diikuti permintaan maaf. “Maaf ya, Nak, bapak nggak bisa bantu untuk S1mu. Bapak doakan saja, ya.”

Jangan ditanya soal shalat. Dalam hal ini, bapak hanya sekenanya saja. Perihal mengaji apalagi, barangkali tak pernah khatam. Tentu saja saya mengatakan hal ini bukan dalam konteks membanggakan, tetapi saya hanya mau bilang, bahwa bapak saya punya segudang kekurangan. Kekurangan ini yang berusaha saya sempurnakan.

Sebagai sulung, bapak hampir tidak pernah mengkhawatirkan saya. Saya tidak pernah dilarang pergi ke manapun, melakukan apapun selama hal itu masih baik dan mengikuti norma-norma sosial dan agama. Tetapi bapak selalu melarang saya satu hal; menginap di rumah teman saya. Bapak itu orang yang akan rela melepaskan saya kemping di hutan selama sebulan, tetapi paling kekeuh melarang saya menginap semalam saja di rumah teman saya. Kenapa? Karena bagi bapak, beliau takut saya akan menyusahkan tuan rumah. Mamak saya bersepakat tentang ini.

Tentang Bapak Saya, Yang Hanya Seorang Supir Lintas

Kata orang-orang, bapak adalah cinta pertama bagi anak perempuan, bagi putri kecilnya. Kata saya, bapak adalah cinta sejati yang saya temukan secara terlambat. Awal-awal saya belajar memahami hidup, yang saya temukan adalah bapak mematahkan hati saya, berkeping-keping. Apakah lantas bapak menyembuhkan luka saya? Tidak. Pola asuh orangtua bapak saya tidak sebaik pola asuh orang-orang jaman sekarang, yang mana ilmu parenting bertebar seabrek-abrek. Maka, setelah bapak patahkan hati saya saat itu, bapak biarkan saya menyembuhkannya sendiri. Bahkan bapak sendiri tidak pernah sadar telah mematahkan hati saya. Tetapi siapa sangka, waktu yang saya habiskan untuk menyembuhkan diri sendiri, memberikan saya pemahaman-pemahaman yang luar biasa? Memberikan saya pengertian-pengertian dan pemakluman-pemakluman yang tangguh? Hingga akhirnya, saya menyadari, bahwa bapak adalah cinta sejati yang terlambat sekali saya temukan. Bapak tidak pernah hadir di hari pembagian rapot saya. Bapak tidak pernah mengantarkan saya di setiap pendaftaran sekolah. Pun, bapak tidak pernah melihat nilai-nilai saya yang luar biasa sempurnanya. Bapak hanya tahu kerja dan kerja. Sesekali membuat saya kesal, atau seringkali menguji kesabaran mamak. Bapak hanya tahu hal-hal sederhana itu; bekerja, membuat kesal, menguji kesabaran. Meski di banyak waktu, tidak jarang pula bapak membuat kami tertawa terbahak-bahak. 
 
Tetapi, tahun-tahun terakhir sebelum kepergian bapak, yang saya temukan adalah, bapak berusaha memperbaiki kekurangan-kekurangannya dahulu. Saya ingat betul mata bapak yang basah saat mengetahui saya lulus seleksi CPNS. Saya ingat betul pelukan kencang bapak saat melepaskan saya pergi merantau ke pulau kecil ini. Di saat ini, saya baru tahu betul, bahwa selama ini bapak menyembunyikan rasa bangganya yang sangat besar kepada saya. Di momen ini, segala perasaan bangga dan haru yang selama ini membuat bapak bingung untuk mengutarakannya, seolah-olah muncul ke permukaan. Rasa terima kasih bapak sejak bertahun-tahun lalu yang tidak pernah terucap, seketika lunas dalam satu momen itu. Rasa bangga bapak yang selama ini tidak sampai kepada saya, seakan telah dibayar tuntas pada hari kepergian saya merantau itu. Bapak bukan tidak peduli kepada anak-anaknya, bapak hanya bingung bagaimana mengatakan betapa ia bangga kepada kami, anak-anaknya. 

Dan setelah saya jauh dari rumah, bapak sering random menelepon saya, bahkan di tengah malam. Hanya untuk sekadar nanya kabar, atau makan malam pakai apa tadi. Hanya pertanyaan receh dan percakapan ringan untuk menemaninya semalam suntuk menunggu kapal penyeberangan, atau menunggu truk selesai dibongkar muat. Yang lalu, hal-hal sederhana inilah yang menyadarkan saya betapa bapak adalah cinta sejati saya yang terlambat saya sadari. Sebelum kepergian bapak, bapak sempat memeluk saya empat kali; ketika melepas saya pergi merantau, ketika saya pulang untuk menikah, ketika seusai menikahkan saya, dan ketika saya pulang karena kakek saya meninggal. Kiranya, bapak berusaha membayar pelukan-pelukan yang tidak sempat ia tunaikan di waktu-waktu lalu, yang sempat membuat hati saya patah.
 
Sebelum kepergian bapak, bapak sempat rajin sekali video call saya dan mengatakan betapa ia merindukan saya. Barangkali dada bapak penuh sesak oleh rindu yang tidak sempat dikatakannya kepada saya bertahun-tahun lamanya. 
Sebelum kepergian bapak, untuk terakhir kalinya, bapak mengatakan betapa ia merindukan saya dan adik saya. Bapak ingin sekali kami berkumpul. Qodarullah rindu itu hanya sampai di mamak saya, karena setelah itu bapak harus pergi menghadap Allah swt. Saat saya diizinkan masuk ke ruang isolasi, sayangnya bapak sudah tidak bernyawa.Pak, anak gadismu merindukanmu, dengan sangat. Terima kasih, Pak. Sabar ya, menantikan doa-doa dari saya yang sering datang terlambat pula, sebab cucu bapak saat ini sedang aktif-aktifnya. Mau lari saja kerjanya, mau berdiri, mau berjalan.  Terima kasih, Pak. Sudah menjadi cinta sejati saya, meski saya terlambat menyadari.

Post a Comment

0 Comments