Kemana Kita Harus Menggantungkan Cita-cita??

kemana harus menggantungkan cita-cita

Kemana kita harus menggantungkan cita-cita?

Rasanya kalimat “gantungkan cita-citamu setinggi langit” sudah tidak asing lagi untuk kita. Tetapi, apakah memang harus menggantungkan cita-cita setinggi langit??

Saya pribadi memahami kalimat ini sebagai perumpamaan bahwasanya sah-sah saja memiliki cita-cita setinggi apapun. Mau jadi dokter, pilot, astronot. Siapapun berhak menginginkan dirinya memiliki profesi mahal itu. Kenapa mahal? Tentu saja, karena biaya yang ditempuh untuk bisa mencapai profesi itu tidak sedikit, bahkan tergolong mahal. Kalimat di atas juga memberikan harapan besar kepada anak-anak bahwa tidak ada batas ketidakmungkinan dalam menggapai cita-cita. Tetapi, benarkah demikian??

Setelah saya renungkan dalam pemikiran receh saya, ternyata kalimat ini jadi ambigu, malah berujung kurang tepat ditanamkan ke anak-anak tanpa penjelasan pengikutnya. Kenapa? Ya tentu saja, anak-anak jadi punya harapan dan ambisi imajiner yang sebatas “oke, nggak apa nih pengen jadi dokter meski saya dari keluarga berekonomi bawah”, yang lalu cita-citanya ini dipupuk dan digantungkan setinggi langit tanpa tahu bagaimana merealisasikan mimpi dan cita-cita dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan. 

Tentu menjadi dokter versi keluarga ‘berada’ dan keluarga ‘pas-pasan’ akan berbeda. Keluarga berada apalagi yang satu circle dokter semua, akan jauh terasa lebih mungkin mewujudkan cita-cita itu. Tetapi untuk keluarga biasa-biasa saja yang bahkan tidak memiliki circle dokter, bukankah untuk mewujudkan cita-cita itu butuh perjuangan dan strategi?? Nah, perjuangan dan strategi inilah yang saya garis bawahi. Jangan sampai ketika beranjak dewasa dan tidak berhasil meraih cita-cita itu, anak-anak kita justru tumbuh menjadi pribadi yang merasa minder bahwa cita-cita mahal itu hanya diperuntukkan oleh orang-orang kaya. Atau justru akan menciptakan jiwa-jiwa yang merasa betapa tidak adilnya Tuhan perihal cita-cita ini. 

Tidak mengapa mengajarkan anak-anak perihal segala hal mungkin terjadi di dunia ini. Tidak peduli berasal dari keluarga seperti apa, semua mungkin-mungkin saja untuk menggapai cita-cita paling tertinggi versi mereka. Tetapi, jelaskan juga kepada anak-anak kita, bahwa segala sesuatu ini menjadi mungkin dengan kuasa Allah SWT, tugas kita adalah berusaha, selanjutnya berikhtiar. Jika anak-anak kita ingin menjadi dokter atau pilot, atau astronot, dan kita merasa belum memiliki kemampuan untuk memenuhi cita-citanya itu, maka arahkan anak-anak kita untuk meraih cita-cita itu melalui jalur lain. Misal, mempersiapkan mereka agar bisa meraih beasiswa. Tentu untuk meraih beasiswa ini nggak ujug-ujug belajar satu malam, lalu besok segala urusan kelar. Nggak, nggak begitu. Perlu belajar panjang, perlu tabah yang luas. Maka jika kita merasa belum mampu menyediakan biaya pendidikan yang tinggi itu, kita harus mampu meluangkan waktu untuk membantu anak-anak kita belajar dan bisa meraih cita-citanya melalui jalur lain (selain jalur umum yang tinggal dibiayai saja). Kita juga jelaskan ke anak-anak kita, “Nak, ibuk sama bapak sepertinya belum bisa menyekolahkan kamu sampai jadi dokter. Tetapi rezeki milik Allah swt, kita hanya berusaha. Kamu tetap bisa kok jadi dokter, nanti kita belajar sama-sama, usaha sama-sama, biar kamu bisa nempuh jalur beasiswa ya?”. Saya selalu percaya, anak-anak akan mengerti jika kita orangtuanya menjelaskan segalanya dengan baik-baik. 

Dan juga, jelaskan kepada anak-anak kita bahwa setiap profesi itu baik, selama tidak melanggar norma agama dan sosial.

Jadi guru, baik.

Jadi pemadam kebakaran, baik.

Jadi petugas kebersihan, baik.

Jadi dokter, baik.

Jadi PNS, baik.

Jadi pegawai BUMN, baik. 

Yang nggak baik adalah ketika menjalani profesi apapun itu, lalu menyalahgunakan posisi yang dimiliki. Jadi anak-anak nggak terpaku harus menjadi dokter, pilot, tentara, dan sebagainya. Karena jujur saja, saya termasuk generasi yang lahir dengan jawaban “ingin jadi dokter” tiap ditanya cita-citanya apa. Kenapa? Ya karena pada saat itu, yang saya dengar di sekitar saya, cita-cita itu cuma ada dokter, guru, pegawai bank, tentara. Padahal profesi di dunia ini banyak sekali dan semuanya keren.

Saya sendiri pernah memiliki cita-cita yang saya gantungkan setinggi langit. Ketika saya jatuh, saya nggak jatuh di pangkuan bintang-bintang. Enggak! Yang saya temukan tetap saja saya patah hati dan merasa betapa susahnya terlahir di keluarga biasa-biasa saja. Karena apa? Karena tidak ada yang menjelaskan ke saya hal-hal realistis. Jadi, selama dua puluh tiga tahun saya hidup dalam angan-angan dan mimpi saja. 

Bahkan ketika saya bercita-cita menjadi penulis. Tercapai nggak? Tercapai. Tetapi ternyata tidak seperti dugaan saya. Setidaknya saya sudah memiliki pengalaman yang akan saya ceritakan ke anak-anak saya kelak; bahwa jadi penulis itu enak, tetapi kalau ingin hidup dari penghasilan menulis, butuh fokus dan strategi yang tepat. Hahaha

Lagipula, kalau dikaji secara receh, capek nggak sih menggantungkan cita-cita setinggi langit?? Pertama, kita bahkan belum bisa menggapai dasar langit. Terus mau nancapin pakunya di mana? Biar bisa digantungkan cita-citanya. Kedua, nyari tangga sampai ke langit di mana? Mau terbang juga nggak punya sayap kan :p 

Lantas, ke mana saya akan mengajarkan anak-anak saya menggantungkan cita-citanya?? 

Jelas, saya akan jawab ke kusen pintu. Kenapa? Karena lebih terjangkau, dengan harapan cita-citanya akan dijangkau dengan jalan yang mudah dan memungkinkan. Terlihat lebih realistis juga, kan? Kusen pintu bisa dijangkau, tahu di mana harus nancapkan paku dan jauh lebih mudah digapai. 

Kalau anak-anak saya bertanya, “kok ke kusen pintu, Buk? Kata guru di sekolah gantungkan setinggi langit”, saya akan jawab saja “ya biar gampang digapai lah. Kalau gantungnya ke langit, gapainya pake apa? Ibuk kan nggak punya sayap yang bisa dipinjemin ke kamu” :p 

Sama seperti peribahasa “kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Ya kenapa Cina? Nanti saya mau bilang ke anak saya “kejarlah ilmu sampai ke Oman. Biar jumpa Kirana.” Ahahaha

Yang pasti, mau menanamkan lokasi menggantungkan cita-cita di langit atau di kusen pintu ke anak-anak kita, jangan lupa untuk selalu memberikan penjelasan kepada mereka. Jangan biarkan anak-anak tumbuh dengan harapan imajiner dan angan-angan semata. Memberikan harapan dan asa kepada anak-anak kita merupakan hal yang baik, tetapi jangan lupa jelaskan hal-hal yang realistis pula. Sebab, kita hidup di kenyataan, bukan di angan-angan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top