Perempuan yang Menjahit Luka Dan Berakhir Di Penjara

Perempuan yang Menjahit Luka Dan Berakhir Di Pejara

Banyak perempuan kehilangan dirinya sendiri setelah menikah, seolah setelah berumah tangga, segala hal tentang dirinya sendiri menjadi tabu untuk dibahas. Seolah segala hal dalam hidupnya harus berisikan tentang orang lain—tentang anak-anak dan suami. Seolah segala mimpi dan perasaan sudah menjadi urutan terbawah dalam prioritas. Jika menjadi perempuan memang semenyakitkan itu, mengapa masih ada yang mau menjadi perempuan?

            Itulah yang saya pikirkan selama bertahun-tahun pernikahan ini. Saya harus menjadi bahagia dengan kebahagiaan anak-anak dan suami saya. Seolah saya ini tidak diperbolehkan memiliki kebahagiaan sendiri, katanya egois.

            Malam ini, untuk ke sekian kalinya, ketika anak-anak sudah lelap dan suami sudah puas, saya terjaga untuk mengompres lebam di mata kiri saya.

Tangan kanan saya sibuk mencelupkan kain ke baskom, memerasnya, lalu meletakkan kain hangat itu ke mata dan wajah saya. Sementara tangan kiri saya sibuk menjahit luka di hati saya.

            Dulu, kata Ibu, menjadi perempuan harus serba bisa. Barangkali yang dimaksud Ibu adalah seperti yang saya lakukan sekarang—tangan kiri dan tangan kanan saya bisa mengobati dua luka secara bersamaan.

            Anak bungsu saya menggeliat. Ia merengek, sepertinya ingin menetek. Saya cepat-cepat mendatanginya dan memberikan apa yang dia mau, sebelum tangisnya pecah dan membangunkan suami saya yang sedang beristirahat. Sementara, benang dan jarum jahit masih menggantung di dada kiri saya. Darah segar masih mengucur dari sana. Entah kapan luka yang satu ini akan sembuh.

***

            Saat adzan Subuh berkumandang, aku sudah berkutat di dapur seperti biasa. Tangan kananku sedang membalik tempe yang digoreng di penggorengan, tangan kiriku mengaduk sayur sup di panci tungku sebelahnya.

            Anak sulungku bangun beberapa saat seusai adzan Subuh dikumandangkan. Ia mendatangiku dan memelukku.

            “Pagi, Ibuk!” katanya, lantas mengecup pipiku.

            Aku tersenyum dan membalas kecupannya.

            Melihat aku yang masih sibuk dengan kedua masakan, anak sulungku seperti biasa menawarkan bantuan. “Ibuk kenapa masak pakai tangan kiri dan kanan. Nanti kalau Ibuk lengah, bisa terkena panci panas, atau kecipratan minyak panas. Sini biar aku bantu.” Cekatan ia mengambil sutil sup dari tangan kiriku.

            Anak sulungku selalu bersikap manis, dan sigap sekali menolongku. Dan mulutku selalu mengulang kalimat yang sama, “biar cepat selesai. Namanya juga Ibuk ini perempuan, harus serba bisa.”

            Ia mencibirku. “Ibuk itu cuma perempuan, bukan Tuhan. Yang serba bisa itu ya cuma Tuhan.” Anak sulungku menambahkan daun bawang ke dalam supnya. “Tomatnya belum Ibuk potong, ya?”

            “Belum.” Tanganku mengangkat tempe yang sudah berubah warna dan matang, lalu memasukkan tempe yang belum digoreng.

            Usai memasukkan tempe ke penggorengan, aku segera mengeluarkan cobek. Kuletakkan cabai, bawang dan terasi yang telah kugoreng sebelumnya. Tanganku segera lincah mengulek semua bahan yang ada di dalamnya. Ini akan menjadi sambal terasi yang nikmat.

            Namun, di sela-sela rutinitas ini, terdengar suara tangis yang memecah, meningkahi suara gelegak minyak panas dan air yang mendidih. Anak bungsuku menangis. Sontak aku dan anak sulungku langsung bertatapan.

            “Biar aku aja, Buk. Ibuk lanjut masak aja.” Anak sulungku segera berlalu dari hadapan. Tak lama kemudian, suara tangis itu mereda. Ia kembali ke dapur menggendong Si Bungsu. “Ibuk, aku haus, mau nenen,” ucap Si Sulung seraya memperagakan bayi yang sedang bicara.

            Aku tersenyum. “Sabar ya, Dek. Sebentar lagi selesai ini ngulek sambalnya.” Perhatianku buyar saat melihat siluet lelaki yang lewat di belakang anak sulungku—berjalan ke arah kamar mandi. “Adikmu satu lagi belum bangun?” tanyaku kepada Si Sulung.

            Si Sulung menggeleng. “Dia kan kalau tidur kayak orang mati. Kalau nggak diteriaki mana mungkin bangun. Ibuk kayak baru sehari aja ngurusin dia.”

            Aku dan Si Sulung tertawa. Memiliki tiga orang anak rasanya selalu berbeda. Tiap anak tidak ada yang sama.

Si Sulung belum genap sepuluh tahun. Namun, sebagaimana anak sulung, ia jauh lebih dewasa. Ia tumbuh dengan cepat. Hatinya dipenuhi oleh pemahaman-pemahaman yang mungkin belum dipahami oleh anak-anak seusianya. Terkadang aku merasa kasihan padanya, harus terdewasakan oleh keadaan. Dia adalah anugerah yang selalu aku syukuri. Tempat aku belajar dan memperbaiki diri.

***

            Lelaki itu bangun pukul enam lewat tiga puluh menit seperti biasa. Ketika ia selesai mandi, nasi sudah tersedia di meja makan. Sayur dan lauk sudah terhidang. Ia duduk di kursi utama seperti biasanya. Saya akan mengambilkan piring, menyendokkan nasi, mengambilkan sayur dan lauk untuknya, lalu memberikan piring yang sudah terisi makanan itu padanya. Lelaki itu akan menerimanya dan makan seperti biasa.

            Kedua anak saya juga makan bersama suami saya, sedang anak ketiga saya sedang saya suapi. Saya sendiri akan makan ketika anak-anak sudah berangkat sekolah dan suami sudah berangkat kerja.

            “Mas, boleh antar anak-anak ke sekolah nggak? Saya mau ke Posyandu, mau bawa si kecil imunisasi hari ini,” ucap saya membuka percakapan.

            Suami saya segera menatap saya dengan tatapan tidak sukanya. Saya menelan ludah, merasa sudah salah bicara. Tubuh saya bergetar demi membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.

            Lelaki itu bangkit dari meja makannya, lalu melayangkan tamparan ke wajah saya.

            Saya merasakan pedas di pipi saya. Suara dengingan-dengingan itu menjalari telinga saya, lalu lahir menjadi kesakitan yang tak terperi.

            “Cuma ngurus anak aja nggak becus! Ngantar-ngantar doang nggak bisa. Nggak guna jadi istri,” ucap suami saya.

            Air mata saya meleleh tanpa sadar. Dada saya rasanya sesak.

            Tangan suami saya cekatan sekali menoyor kepala saya. “Cengeng! Bersyukur kau itu nggak kucerai.” Ia meninggalkan saya dan anak-anak setelah mengucapkan itu.

            Anak sulung saya segera mendatangi saya dan memeluk saya.

            Anak bungsu saya menangis histeris.

            Anak tengah saya terduduk diam di meja makan tanpa ekspresi. Entah apa yang sedang dirasakannya dan dipikirkannya. Ia tidak pernah mengatakan apapun, atau bereaksi apapun tiap kali kejadian seperti ini terjadi.

            Saya hanya bisa menangis memeluk anak-anak saya. Tangan saya terlalu jauh untuk bisa memeluk diri saya sendiri. Yang saya sesali, mengapa saya melahirkan anak perempuan? Mengapa saya melahirkan manusia yang nasibnya hanya akan diikat norma dan kewajiban? Mengapa Tuhan membiarkan perempuan tetap terlahir ke dunia? Jika hanya untuk mengalami kemalangan?

            Luka yang susah payah saya jahit tadi malam, menganga dan berdarah lagi. Saya harus mengulangi ritual itu lagi nanti malam—dan mungkin malam-malam berikutnya. Menjahit luka demi luka yang tertoreh di hati saya, tanpa pernah tahu apakah luka itu bisa disembuhkan atau tidak.

***

            “Cantik benar, Bu. Rumahnya pasti nggak keurus, ya? Makanya sempat dandan cantik begitu,” ucap seorang perempuan yang sedang menunggui anaknya di depan gerbang sekolah.

            Aku tahu, dia orangtua dari salah satu anak yang berada di kelas Si Sulung. Aku bertemu dengannya setiap hari, dan setiap pertemuan itu pula ia selalu menggunjingkan orang-orang. Hidupnya hanya berisi gunjingan demi gunjingan. Kata-katanya seolah selalu yang paling benar. Padahal aku tahu, ia hanya sedang iri saja dengan ketidakmampuannya dalam hidup.

            “Loh, memangnya Ibu sudah mengurus rumah dan anak-anak dengan baik? Makanya nggak bisa dandan? Iri ya, Bu?” Aku menyerangnya balik dengan kalimatku.

            Wajah perempuan itu tampak tidak senang. “Siapa juga yang iri?”

            “Ya Ibu dong, yang iri. Masa aku. Anak Ibu aja selalu juara dari bawah. Berarti nggak benar dong, ngurusin anaknya? Padahal udah nggak dandan, tapi ngurus anak nggak benar juga.” Aku mengulas senyum jahat. Kudekatkan mulutku ke telinganya lalu berkata, “jangan-jangan rumah sama suami juga nggak keurus ya, Bu?” Aku menjauhinya. Lalu tersenyum santun. “Permisi, Bu.” Aku berjalan meninggalkannya, memutuskan untuk menunggu di dalam.

            Sebelum benar-benar pergi, aku bisa melihat wajah perempuan itu memerah—entah malu, entah kesal. Aku tidak peduli. Mungkin sesampainya di rumah, ia akan menangis sesenggukan di kamar.

            Si Sulung dan Si Tengah muncul di gerbang setelah bel pulang berbunyi. Aku mengajak mereka singgah ke kedai es krim di dekat rumah, mereka senang sekali ketika mengetahuinya.       Si Sulung memilih rasa vanilla seperti biasa, sedang Si Tengah memilih rasa stroberi.

            “Loh, Ibuk nggak beli?” tanya Si Sulung.

            Aku menggeleng. “Nggak usah. Nunggu sisa Si Tengah aja. Paling juga nggak habis kayak biasa.”

            Tatapan Si Sulung menghangat. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ibuk selalu mengalah untuk kami.

            “Biar nggak mubazir. Tuhan nggak suka mubazir,” kataku menambahkan.

            Usai membayar, aku, Si Sulung, Si Tengah dan Si Bungsu yang sedang kugendong segera mencari tempat duduk yang tidak begitu jauh dari kasir. Kami duduk di sana seraya melihat mobil-mobil yang lewat. Kami akan menghitung mobil dengan warna tertentu yang lewat sembari menghabiskan es krim.

            Aku menanyai anak-anakku apa yang terjadi dengan mereka di sekolah. Lalu, tiba-tiba saja Si Sulung bercerita tentang temannya yang sudah tidak masuk sekolah selama seminggu.

            “Apa dia sakit?”

            Si Sulung menggeleng. “Gosipnya, ibunya lagi dirawat di rumah sakit, karena dipukuli sama bapaknya, Buk.”

            “Kenapa dipukuli?”

            Si Sulung menggeleng lagi. “Bapaknya memang jahat. Kasihan dia, Buk. Tiap hari di sekolah sedih.”

            “Kamu temani dia nggak?”

            “Temani, dong. Biar dia nggak sedih terus.” Si Sulung menyuapkan es krimnya ke mulut. “Buk, apa sih, yang harus dimiliki seorang perempuan?”

            Aku tercengang mendengar pertanyaan anakku. Kenapa dia sudah memikirkan hal sejauh itu di usianya yang sekarang. Aku berpikir sejenak untuk mencari kata yang pas, agar aku tidak salah jawab dan membuatnya memiliki persepsi yang tidak benar. “Perempuan harus punya kekuatan. Harus kuat.”

            “Kayak Superman?”

            “Wonder woman, dong.” Aku menyentuh ujung hidungnya, dia tertawa seraya kembali memakan es krimnya. “Perempuan harus punya kesabaran, cita-cita dan mimpi, tetapi tetap harus punya kekuatan biar nggak disia-siakan sama suaminya setelah menikah.”

            “Memangnya setiap perempuan harus menikah ya, Buk?”

            Aku menggeleng. “Enggak. Kalau kamu nggak ketemu orang yang tepat, ya jangan menikah. Ngapain menikah kalau cuma ngebuat kamu merasa sedih dan tidak berharga. Kamu harus ingat, setiap perempuan itu berharga! Nggak akan ada makhluk bernama laki-laki kalau nggak ada perempuan.”

            Bukankah benar yang kukatakan? Setiap perempuan harus memiliki kekuatan agar tidak disia-siakan oleh suaminya kelak. Jangan mau dikungkung oleh norma yang sebenarnya hanya diciptakan manusia untuk membelenggu kekuatan perempuan yang begitu besarnya. Bukankah perempuan juga manusia? Lalu kenapa orang-orang selalu berpikir bahwa perempuan tidak boleh sakit ketika menjadi ibu dan istri? Kenapa orang-orang berpendapat perempuan egois ketika mereka membeli barang yang mereka inginkan selama ini?

            Aku dan anak-anakku kembali melanjutkan kegiatan menghitung mobil berwarna merah yang lewat di hadapan kami.

            “Buk, apa menikah itu enak?” tanya Si Sulung tiba-tiba.

            Aku terdiam.

***

            Sebenarnya suami saya orang yang manis, dulu. Tidak tahu sejak kapan, ia jadi berubah. Berulang kali orang-orang menasehati saya untuk meninggalkannya. Tetapi, saya memikirkan nasib anak-anak andai kami berpisah. Anak-anak tidak akan punya orangtua yang lengkap. Mereka mungkin malu jika ditanya oleh teman-temannya nanti. Untuk alasan itulah, saya bertahan dalam pernikahan ini, meski pada akhirnya harus berakibat keluarga saya pergi meninggalkan saya. Kata mereka, saya membuat keputusan paling bodoh yang pernah mereka dengar.

            Sekitar tengah malam, saya terbangun mendengar suara pintu digedor dengan terburu-buru. Saya segera berjalan ke sana dan membukakan pintu. Suami saya berdiri di depan dengan kondisi mabuk.

            Saya menangkap tubuhnya yang hampir ambruk, lalu memboyongnya masuk dan mendudukkannya di sofa tamu. Entah bersebab apa, suami saya tiba-tiba marah. Ia bangkit dari duduknya dan memukul tubuh saya hingga saya ambruk. Ia juga menarik benang jahitan yang baru saya selesaikan tadi sebelum tidur. Jahitan itu terburai, membuat luka di dada kiri saya kembali menganga dan berdarah. Ia menendang saya yang masih terkulai tak berdaya di lantai.

            Tangan kiri saya menutupi luka yang menganga itu. Hati saya tak henti-hentinya mengucurkan darah segar. Saya takut mati kehabisan darah. Anak-anak saya masih kecil dan membutuhkan saya.

            Suami saya menyeret tubuh saya, membawanya ke kamar belakang. Tubuh saya dibanting. Ia menarik daster saya secara paksa hingga robek. Ia berusaha menelanjangi saya tanpa ampun. Saya berusaha melawan dengan tangan kanan, namun kalah meski berjuang. Saya membungkam mulut saya dengan tangan kanan, berusaha meredam suara isak dan jeritan yang mungkin akan terdengar oleh anak-anak.

            Suami saya menaiki tubuh saya. Ia menyetubuhi saya secara paksa. Ia memukul saya demi kepuasan semata. Ia tidak pernah bertanya apakah saya menikmatinya. Ia hanya peduli dengan kenikmatan yang dicapainya.

            Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya.

            Tangan kiri saya masih memegangi luka yang menganga. Tangan kanan saya membekap mulut dari segala teriakan. Hati saya merapal doa, semoga saya tidak mati malam ini, agar anak-anak saya tidak sengsara.

***

            Lewat tengah malam, seorang lelaki memasuki kamarku. Saat aku tersadar, ia sudah menaiki tubuhku dan membuka kancing piyamaku. Aku berontak. Kuangkat kakiku hingga mengenai kepalanya. Ia terjatuh menimpa tubuhku.

            Aku segera menggeser tubuhnya dan berlari keluar. Tidak ada senjata apapun di rumahku, kecuali pisau dapur. Aku harus melindungi anak-anakku dari lelaki gila ini. Langkahku memburu menuju dapur, dan lelaki itu telah bangun dan mengejarku.

            Aku melemparkan piring dan benda-benda lain ke arah lelaki itu. Ia dengan mudah menangkapku dan membanting tubuhku ke lantai. Ia menyingkap rokku dan menurunkan celana dalamku.

            Badanku memberontak, bergerak tak tentu arah. Aku berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Lelaki itu melayangkan sebuah pukulan di kepalaku.

            Sesaat kemudian, aku merasakan tatapanku menggelap, lalu berkunang-kunang. Lelaki itu telah merangsek pertahananku. Aku merasakan sakit di antara selangkanganku.

            Napasku tersengal. Tangan kananku berusaha meraih sesuatu yang berada di dekatku. Ketika jemariku berhasil mengenggam sesuatu, kupaksakan mataku membuka dan kulihat apa yang kudapatkan. Sebuah pisau dapur.

            Kulayangkan pisau itu ke bahu lelaki itu. Ia mengaduh sakit dan memakiku. Tangannya segera mencekikku. Tubuhku gemetar, aku ketakutan. Kudengar suara tangis anakku di kamar. Aku semakin ketakutan.

            Dengan sisa tenaga yang ada, aku kembali menusukkan pisau itu ke perutnya berkali-kali. Tubuh lelaki itu ambruk di atas tubuhku. Aku menggesernya. Lagi, kutusukkan pisau itu ke lehernya berkali-kali. Darah segar membasahi lantai.

            Aku berteriak, menangis sejadi-jadinya.

            Si Sulung, Si Tengah dan Si Bungsu yang digendong oleh Si Sulung, mendatangiku dengan tatapan ngeri.

            “Ibuk…” ucap Si Sulung.

            Aku tahu, anak-anakku pasti ketakutan melihat mayat dan darah yang berceceran.

            Aku berusaha mengulas senyum. “Nggak pa-pa. Sini, sini sama Ibuk. Semuanya sudah baik-baik saja.”

            Anak-anakku mendekat. Aku memeluk mereka dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku masih menggenggam pisau yang sudah bersimbah darah.

            Perempuan itu harus kuat, agar tidak disia-siakan oleh suaminya. Aku mengulang frasa itu dalam hati.

***

            Sudah seminggu ini hidup saya jadi sedikit lebih tenang. Saya bisa menjahit luka demi luka dengan baik. Satu per satu luka saya mengering. Saya senang sekali.

            Saya juga bisa makan bersama anak-anak saya belakangan ini, tidak lagi menjadi yang paling terakhir dalam segala hal. Saya bisa melakukan banyak hal bersama-sama dengan anak-anak saya.

            Lebam-lebam di tubuh saya mulai berkurang nyerinya. Beberapa warnanya sudah berubah. Yang kecil-kecil malah sudah menghilang.

            Kehidupan saya mulai membaik.

            Anak-anak sudah saya antar ke sekolah tadi pagi. Yang paling kecil juga sudah tertidur usai menyusu. Saya sedang menjahit sisa luka di tubuh saya. Namun tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu rumah saya.

            Saya buru-buru menuju pintu. Jarum jahit masih tergantung di dada kiri saya. Tidak mengapa, bisa saya selesaikan setelah tamu saya pulang.

            Saya berjalan ke depan dengan jarum yang masih terjuntai. Saya membukakan pintu dan menemukan beberapa orang lelaki dengan seragam polisi. Mau apa mereka ke sini?

            “Ya? Ada apa, Pak?” tanya saya seraya melebarkan pintu.

            Salah seorang dari mereka menyerahkan surat. “Kami harus membawa Ibu ke kantor polisi.”

            Saya mengernyitkan dahi seraya membuka surat yang mereka serahkan. “Loh, saya salah apa, Pak?”

            “Ibu diduga telah membunuh suami Ibu dan menyembunyikan mayatnya.”

            “Tapi saya tidak…”

            “Kami mau periksa ke dalam rumah, Bu.”

            Orang-orang berseragam itu masuk ke rumah tanpa menunggu persetujuan saya. Saya tidak mengerti dengan semua yang terjadi.

            “Pak, saya sedang menjahit luka saya. Kenapa tiba-tiba Bapak mau membawa saya?” Saya berjalan mengikuti langkah mereka.

            Salah seorang dari mereka muncul dari dapur dan berkata kepada yang lainnya. “Mayatnya ada di sumur belakang.”

            Orang-orang berseragam itu sibuk setelah mendengar kalimat temannya.

Saya memeluk anak saya yang paling kecil.  

Luka di dada kiri saya belum sempurna terjahit.

Kata orang-orang, saya akan masuk penjara atas perihal keji yang saya lakukan.

Mengapa saya dituduh keji? Bukankah saya berusaha menyembuhkan diri?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top